RSS

Berkurban, Berkorban, dan Berqurban


IDUL ADHA -biasa juga disebut Idul Kurban, Hari Raya Adha, Hari Raya Haji, atau Hari Raya Besar- seperti kita ketahui, adalah hari raya Islam, kembaran Idul Fitri. Ketika Nabi Muhammad SAW datang ke Madinah, di negeri hijrah itu telah ada tradisi semacam perayaan tahunan, satu tahun dua kali, yang disebut Mahrajan. Oleh Kanjeng Nabi, kedua perayaan itu diusulkan diganti dengan yang lebih baik. Itulah Idul Adha dan Idul Fitri.
Jadi, dari sudut perayaannya, kedua hari raya itu memang boleh dikata merupakan semacam "pesta rakyat". Hari gembira umat Islam. Tapi, dasar orang Indonesia, kedua hari bahagia itu di sini malah sering dijadikan pasal pertengkaran juga. Biasa, gara-gara fanatisme kelompok. Tabiat khas orang Indonesia dan kaum jahiliyah!

Adha, Haji, atau Kurban, semuanya berasal dari bahasa Quran. Adh-ha yang berarti kurban (jangan kacaukan dengan korban pakai ’o’! Maknanya lain!) karena pada hari itu umat Islam merayakannya dengan menyembelih ternak sebagai tanda bakti dan taat kepada Allah. Sedangkan Qurban bisa berarti pendekatan. Tentu saja pendekatan kepada Al-Khaliq, Allah Azza wa Jalla. Kita sering mengistilahkannya dengan taqarrub, mendekat-dekat atau berusaha dekat kepada-Nya. Karena itu, sejak 1 Dzulhijjah, kita dianjurkan memperbanyak amalan-amalan ibadah seperti puasa, bersembahyang, bersilaturahmi, dan berzikir, mengagungkan Allah.

Di saat-saat Idul Adha seperti ini, biasanya umat Islam -"baru"- teringat kepada Bapak para Nabi, Khalilullah Ibrahim dan putranya, Nabi Ismail -alaihimus salaam! Mereka yang teringat pun banyak yang tidak sempat merenungkan keagungan pengorbanan kedua nabi itu, apalagi sambil membandingkan kesiapan berkorban diri sendiri.

Bayangkan. Nabi Ibrahim sudah lama sekali ingin mempunyai keturunan yang dapat melanjutkan perjuangannya. Baru setelah sangat sepuh beliau dikaruniai Ismail. Tempatkan diri Anda di tempat beliau dan rasakan, betapa gembira dan bahagianya. Lalu, tiba-tiba setelah si anak ketok moto (membanggakan dipandang, Red), seperti sudah kita ketahui, Allah memerintahkan untuk menyembelihnya.

Bagi umumnya kita, kehilangan anak saja sudah merupakan malapetaka, apa pula dengan menghilangkan anak yang nota bene sudah lama didambakan dan diidam-idamkan. Adakah keikhlasan berkorban demi kekasih yang sehebat dan seagung itu?

Ya, ada. Yaitu, keikhlasan berkorban sang putra, Ismail, yang dengan ketulusan luar biasa menyerahkan nyawanya demi Sang Kekasih yang sama. Dua hamba Allah telah membuktikan cinta mereka yang agung dengan pengorbanan yang agung. Anak, belahan jiwa, dan nyawa sendiri! Allahu Akbar!

Keduanya telah membuktikan bahwa pernyataan mereka tulus, bukan pernyataan kosong yang hanya sebagai kembang lambe (pemanis bibir). Mereka benar-benar memurnikan kepasrahan hanya kepada Allah. Mengakui dan menyadari bahwa pemilihan hakiki hanya pada Allah. Bahwa semuanya, tanpa kecuali, adalah milik Allah, tak berbagi dengan siapa pun, termasuk dengan diri sendiri.

Inna shalaati wanusuki wamahyaaya wa mamaati lillahi Rabbil ’aalamien; laa syarieka lahu wa bidzaalika umirtu wa ana awwalul muslimien. Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, matiku, semata-mata milik Allah Tuhan sekalian alam; tak ada seorang pun yang ikut bersama-Nya memiliki. Untuk itulah aku diperintahkan dan aku adalah orang pertama yang menerima, yang pasrah, yang Islam!

Maka, sudah sepatutnyalah kedua nabi agung itu mendapatkan tempat terdekat di sisi-Nya sebagai kekasih-kekasih-Nya.

Sekarang kita, yang setiap saat juga berikrar seperti Nabi Ibrahim AS, Inna shalaati wanusuki… dan seterusnya. Jangan tanya tentang apakah kita sudah mampu melepas "kepemilikan" dari diri kita sendiri dan menisbatkannya hanya kepada Allah? Tanya saja, apakah kita sudah dapat menghilangkan rasa sayang melepas sebagian "milik" kita demi Allah?

Membeli kambing untuk kurban -meniru Nabi Ibrahim AS- saja, kita membelinya ngloloni pada bulan-bulan sebelum mendekati Dzulhijjah untuk mendapatkan harga yang lebih murah. Jika sedang di masjid, ketemu "kotak amal", kalaupun kita membuka dompet, maka yang kita cari untuk kita masukkan ke dalamnya adalah pecahan yang terkecil. Ketika dekat Baitullah, rumah Allah, saja kita tak sudi berkorban sedikit tempat atau sedikit kesempatan kepada sesama hamba Allah.

Kita memilih berkelahi dengan sesama saudara -yang dilarang Allah- daripada, misalnya, mengikhlaskan sedikit tempat di maqam mustajab atau sedikit kesempatan mencium Hajar Aswad kepada sudara kita. Padahal, kita hafal sabda Nabi Muhammad SAW, "Laa yu’minu ahadukum hattaa yuhibba li akhiihi maa yuhibbu linafsihi." (Tidak sempurna iman salah seorang di antara kamu sebelum dia menyukai untuk saudaranya sebagaimana dia menyukai untuk dirinya sendiri).

Setiap saat kita terus dituntun kehidupan yang serba material untuk semakin menjadi orang yang kemilikan. Jangankan apa yang kita anggap milik kita sendiri, "milik" orang pun, kalau bisa, ingin kita kuasai untuk kita sayangi. Bahkan, kehidupan yang serba material itu, tanpa sepenuhnya kita sadari, telah menyeret kita kepada mencintai diri sendiri yang berlebihan.

Maka, dalam kondisi seperti itu, berkorban tentu merupakan sesuatu yang sangat berat, bahkan mungkin ganjil. Lihatlah mereka yang suka berkoar-koar seolah paling nasionalis atau paling patriot, untuk sedikit berkorban bagi rakyatnya sendiri pun seperti disuruh njegur sumur (terjun ke dalam sumur). Apalagi berkorban untuk Allah yang memerlukan pengenalan kepada-Nya.

Bahkan, karena kurang pengenalan ini, justru Allah-lah yang sering di-"korban"-kan. Masya Allah. Karena tidak tahu bahwa Allah menghendaki semuanya mendekati-Nya, maka baru merasa memiliki Allah saja, sudah merasa paling dekat kepada-Nya dan tidak suka bila ada orang lain berusaha ikut mendekati-Nya.

Karena tidak tahu bahwa Allah menghendaki dan memfitrikan perbedaan, maka baru "memiliki" keyakinan yang belum tentu benar saja (karena yang mutlak pasti benar hanya Allah), sudah mentang-mentang melarang orang lain "memiliki" keyakinan sendiri. Karena tidak tahu bahwa Allah menghendaki manusia hidup harus saling menghargai, maka baru "memiliki" pengetahuan sedikit saja sudah tidak sudi mengorbankan waktu untuk mendengarkan orang lain. Baru memiliki kekuasaan sedikit saja, sudah marah diminta berkorban untuk mendengarkan dan mencerna kritikan.

Semoga tahun ini kita dapat merayakan Idul Adha dengan mengagung Allah. Bagi yang mampu, dapat berkurban (dengan ’u’) dengan semangat berkorban (dengan ’o’) dan menghayati maknanya bagi upaya ber-qurban, mendekatkan diri kepada Allah. Taqabbalallahu minnaa wa minkum! Taqabbal ya Kariem!

Berku(o)rban
 
Agar Anda diterima menjadi PNS, berapa Anda mau mengorbankan biaya, tenaga, dan materi? Agar Anda bisa ikut menjadi calon lurah, berapa Anda berani mengorbankan biaya? Bila sudah menjadi calun, agar terpilih, pastilah Anda akan lebih banyak lagi bersedia berkorban. Agar masuk daftar caleg nomor jadi, atau dipilih sebagai anggota DPD, berapa Anda berani berkorban harta dan tenaga? Agar Anda bisa menjadi calon presiden…

Dalam rangka agar anak Anda menjadi "orang", berapa Anda ikhlas berkorban? Untuk menyelamatkan nyawa kekasih Anda -suami, istri, anak, dlsb-, berapa Anda berani mengorbankan milik Anda? Untuk menyelamatkan nyawa atau sekadar kepentingan diri Anda sendiri, berapa Anda bersedia mengorbankan apa yang Anda punyai? Insya Allah, Anda akan menjawab spontan: "Aku bersedia mengorbankan segalanya!"
Selain adanya kecintaan, berkorban -sebagaimana bersyukur- memang memerlukan pemahaman dan kesadaran untuk apa kita berkorban -atau atas apa kita bersyukur. Orang yang mencintai jabatan; jabatan legislatif, misalnya, dan -atau karena- "memahami dan menyadari" betapa enaknya menjadi anggota DPR, tentu berbeda dengan mereka yang sama sekali tidak "cinta" atau "tidak paham" jabatan. Itulah sebabnya -wallahu a’lam-, banyak caleg yang itu-itu juga yang tampak dalam deretan "nomor topi". Mereka yang tidak "cinta" dan tidak memahami akan terheran-heran menyaksikan semangat berkorban yang begitu menggebu-gebu dari para caleg. Bukan hanya tenaga, pikiran, dan harta; bahkan persaudaraan pun sering dengan enteng mereka korbankan.

Seukur kecintaan dan pemahaman atau kesadaran itulah, besar kecilnya pengorbanan rela dipersembahkan. Orang yang hanya mencintai diri sendiri atau hanya memahami dan menyadari pentingnya diri sendiri tentu tidak dapat kita bayangkan bersedia mengorbankan sesuatu untuk yang lain. Orang yang tidak mencintai negara dan bangsanya atau tidak memahami dan menyadari pentingnya hal itu jangan harapkan mau berkorban untuk negara dan bangsanya. (Dan masya Allah, ternyata cukup banyak orang yang seperti ini, bukan? Banyak sekali orang yang merasa hidup di awang-awang sendiri, terlepas dari kaitan dengan negara dan bangsanya. Negara dan bangsa hanya dianggap perlu bagi urusan orasi dan agitasi. Banyak yang ingin senang sendiri; padahal jika dipikir, apa enaknya senang sendiri di negara yang terpuruk dan di tengah-tengah bangsa yang menderita).

Kecintaan yang terbesar yang segera dapat dipahami dan disadari hampir semua orang pastilah kecintaan kepada diri sendiri dan anak. Untuk dan demi diri sendiri dan anak inilah, kita sering menyatakan -dan bahkan membuktikan- bersedia mengorbankan "segalanya".

Sekarang bayangkan; Nabi Ibrahim a.s. yang bersedia dengan ikhlas hati mengorbankan nyawa belahan hatinya, anaknya sendiri dan Nabi Ismail a.s. yang bersedia dengan ikhlas mengorbankan dirinya. Adakah yang lebih berharga di dunia ini melebihi nyawa anak dan diri sendiri? Sikap tulus Nabi Ibrahim dan putranya seolah menjawab dengan tegas: "Ada. Ada yang jauh lebih berharga daripada itu. Yaitu, keridhaan Allah Sang Pencipta." Pengorbanan yang luar biasa dari manusia-manusia luar biasa -oleh kecintaan yang luar biasa- demi Yang Maha Luar Biasa.
 

Kita yang mengaku juga ingin mendapatkan ridha Tuhan kita, Allah SWT, wahai, seberapa besarkah kesediaan kita berkorban untuk hal-hal yang dapat mendekatkan diri kita kepada keridhaan-Nya. Berkorban untuk sesama, untuk negara dan bangsa, untuk agama? Untuk-Nya? Kiranya, jawabnya ada pada jawaban atas pertanyaan: sebesar apakah kecintaan kita kepada-Nya dan seberapa jauh pemahaman dan kesadaran kita.
Wallahu a’lam.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS